28 Juli 2022
Hari ini kami berkunjung ke sebuah kebun kopi tradisional yang sudah cukup tua di daerah Teluk Dalam, jalur Ambawang – Tayan (Trans Kalimantan). Kebun kopi yang diperkirakan sudah ada sejak 1960an ini sebelumnya dimiliki oleh Dak Tina (Nenek Tina) yang saat ini sudah berusia 77 tahun, dan sekarang dikelola oleh anak bungsu dan cucunya.
Kami berkesempatan untuk mendengarkan langsung sejarah kebun ini dari Dak Tina, dimana ada beberapa hal menarik yang saya temukan.
Pertama, Dak Tina dan saudarinya yang sama-sama berkebun kopi pada masa itu sudah melakukan pruning (pemangkasan) untuk membuang ranting maupun cabang yang dianggap tidak penting atau tidak produktif agar produksi kopi bisa maksimal. Mereka juga melengkungkan batang dan cabang pohon kopi agar tumbuh menyamping dan tidak semakin tinggi supaya mempermudah saat panen. Sementara sejauh ini di beberapa kebun kopi tradisional lokal lain yang pernah kami temukan belum ada yang menerapkan tindakan serupa.
Kedua, baru kali ini juga kami mendapatkan alasan kenapa petani kopi tradisional lokal biasanya melakukan panen tanpa sortir. Dimana buah kopi baik yang masih mentah (hijau) maupun matang (merah) akan diambil semua tanpa dipilih dulu. Berdasarkan cerita Dak Tina, hal ini dilakukan untuk menghindari pencurian buah kopi. Kalau saat panen hanya petik buah merah saja, maka buah lain yang belum dipanen karena masih belum matang kemudian akan dicuri. Apalagi pada saat harga kopi tinggi.
Istilah Kopi Lesung sendiri muncul karena proses pengolahan kopi yang masih ditumbuk menggunakan lesung (Lassung kalau dalam bahasa setempat, yang menjadi nama kopi ini).